Pegawai BRI unit desa itu yang kelak aku tahu namanya “teller” bertanya, untuk apa tabungan Tabanasku harus aku ambil di awal Juli 1990. Jawaban polos khas anak kecil meluncur dari bibirku yang saat itu ditemani Bapak. Untuk beli sepeda BMX. Model sepeda itu sedang musim saat itu, maka Bapak memperbolehkanku untuk mengambil tabunganku di Tabanas untuk beli sepeda BMX baru yang sudah hampir enam tahun aku impikan. Bapak dan Ibu berjanji akan menambahi dananya untuk beli sepeda itu sebagai wujud rasa syukur karena alhamdulilah nilai Ebtanas ku termasuk yang terbaik se kecamatan.
BMX hitam itu kemudian menemaniku menyusuri jalan aspal yang masih kurang mulus di sana sini sepanjang 4 kilometer ke SMPN 2 Pilangkenceng, tempat kakakku perempuan Mbak Pur telah menempuh tahun ketiganya ketika aku menginjak tahun pertama. Kelak di SMP ini jugalah aku kembali bertemu kawan lamaku, dik Er yang di kemudian hari ditakdirkan menjadi ibu dari anak-anakku.
SMP ku terletak di pinggir jalan kecamatan antara Pilangkenceng menuju Caruban, kota kecil di sebelah timur Madiun. Ada cerita lucu yang masih kuingat di kelas 1 ketika aku bersama teman-teman 1 kelas dihukum guru Fisika Bu Nurhayati, karena lupa membawa buku rangkuman rumus. Kami semua harus mengitari lapangan bola 5 kali sambil menghafalkan rumus massa jenis yaitu rho adalah massa dibagi volume. Waduh sungguh malunya saat itu namun hingga kini meski aku tak menekuni bidang fisika, karena dihukum lari itulah, rumus massa jenis masih teringat luar kepala.
Di masa SMP inilah, aku berkenalan dengan keorganisasian, selama kurang lebih 2 tahun, aku aktif di kegiatan OSIS dan di kelas 2, aku dipercaya teman-teman menjadi ketua. Ada cerita menarik ketika aku bersama teman-teman mengikuti lomba gerak jalan 17 kilometer dalam rangka Tri Lomba Juang di kabupaten. Tenaga anak seusia SMP tentu saja ngos-ngosan menempuh jarak tersebut apalagi aku sebagai komandan peleton harus memberi aba-aba. Sesampai di alun-alun Madiun sebagai tempat finish, tanpa sabar lagi aku bersama teman-teman langsung menyerbu konsumsi, es teh dan jajan di suatu sudut alun-alun. Setelah puas, ternyata datanglah pemiliknya, alias kami ternyata telah salah mengambil konsumsi tim gerak jalan dari SMP lain. Namun cerita suksesnya, tim SMP ku terpilih menjadi juara kabupaten, aku terus terang kaget juga padahal kami berbarisnya tidak terlalu bagus namun ternyata point kami tinggi karena paling tepat waktu.
Di SMP inilah aku semakin banyak teman dari berbagai desa di Pilangkenceng, yang kelak tetap menjalin silahturahmi hingga saat ini ketika usia kami beranjak makin tua. Guru-guru yang membimbingku juga luar biasa diantaranya ada Pak Hartoyo, Pak Nurhadi, Pak Nawang, Bu Fatim, Bu Sukilah, Pak Heri, Bu Hesti, Bu Arin, Bu Sri Pur, Bu Erna, Pak Paidi, Pak Naryo, Pak Mutrisno, Bu Endang, Pak Riyadi, dan Pak Priyadi. Beliau-beliau inilah tempat aku berhutang pengetahuan. Pertengahan 1993 kulangkahkan kakiku meninggalkan SMP ini dengan menggenggam ijasah dan sebuah hadiah radio Panasonik dari pak Muh Badal Arjoso, kepala SMP ku waktu itu. Beliau memberiku hadiah radio karena nilai Ebtanasku termasuk yang terbaik di kabupaten, konon begitu kata beliau.