Sepeda kumbang tua itu kini dipakai ke sawah oleh suami sepupuku. Selama hampir 3 tahun kuhabiskan di sadel sepeda tua itu menyusuri 17 kilometer dari rumah ke SMAN 1 Caruban. Hampir tiap pagi bersama teman-teman, aku bersama teman-teman janjian di pertigaan pasar Tlagan untuk kemudian mengayuh sepeda bersama, pergi dan pulang. Di SMA inilah impianku untuk menginjakkan kaki ke ibukota negara, Jakarta, tercapai.
Suatu pagi di awal Oktober 1995, aku sebagai ketua OSIS dipanggil pak Suhartono, kepala sekolahku. Intinya beliau memberitahuku bahwa aku bersawa 4 kawan lain dari Mojokerto, Surabaya, Sampang dan Malang akan mewakili Jawa Timur dalam Kursus Kepemimpinan Ketua OSIS Nasional di Srengsengswah Jakarta selama 10 hari. Di pelatihan inilah aku bisa bertemu perwakilan ketua OSIS dari 27 provinsi se Indonesia waktu itu. Materinya menarik dengan disiplin ala militer sejak bangun tidur hingga belajar di saat malam. Dalam suatu acara surprise di satu sesi, namaku ikut dipanggil bersama 5 kawan lain. Deg deg an dan rasanya mau copot jantungku, karena salahsatu peserta diinformasikan kalau pemilik kamar terkotor. Alhamdulilah ketika panitia sampai di depanku dia mengalungkan kamar terapi di leher ku.
Di SMA inilah yang kemudian adikku, dik Lilis juga melanjutkan di sini 10 tahun kemudian, ada cerita lucu ketika aku di kelas 1, kelasku mendapatkan piket menjadi PKS (patroli keamanan sekolah) dan terjadi kecelakaan lalu lintas di depan SMA ku, karena ternayata petugas piket PKS dari kelasku terlambat. Sesuai kesepakatan teman-teman, kami akan kompak kalau petugasnya dihukum dijemur ditengah lapangan maka semua warga kelas akan ikut dihukum. Namun saat itu tiba, ternayata tinggal aku sendiri dan kawanku Suroso yang tetap komit pada kesepakatan. Kawan-kawan lain selain petugas piket PKS sudah ngacir.
Masa SMA penuh dengan aktifitas, apalagi bersamaan peringatan 50 tahun Indonesia merdeka. Bersama dengan bapak ibu guru yang luar biasa, aku turut mengantarkan SMA ku merarih juara 2 tingkat provinsi dalam lomba Wawasan Wiyata Mandala. Masih kuingat dengan jelas Pak Alex almarhum, pak Wasis, pak Joko, pak Muhadi, pak Hendro, pak Tedjo, pak Diyoto, pak Kasiyun, bu Indah, bu Kusmiyati, bu Masrikah, bu Lasmini, bu Sri Han, pak Sri Haryanto almarhum, bu Yayuk, bu Nugrahani, bu Witha, pak Sinar, bu Yayuk, bu Endah, dan pak Gito.