Kalender bulan kedua baru saja menunjuk angka 18 di 2012, ketika kakiku menginjakkan kaki di pelataran masjid Nabawi Madinah. Kulit yang tertusuk dingin di awal shubuh itu tak lagi terlalu terasa, tersedot cahaya menara masjid dan ribuan jamaah yang berlomba memenuhi shaf-shafnya. Alhamdulilah, setelah 3 hari di kota yang sejuk dan memunaikan berbagai ikhtiar berdoa di raudhah maupun mengunjungi berbagai tempat mustajab yang kaya akan nilai sejarah, maka bersama rombongan Tazkia yang dipandu ustad Dr Syafii Antonio, kami melakukan miqat umrah di Bir Ali.
Khotbah jumat di masjidil haram saat itu banyak mengupas masalah Mesir, Libia dan Suriah atau yang dikenal negeri Syam di masa lalu. Tak lama setelah sholat Jumat selesai, jamaah pun memulai lagi thawaf, dan subhnallah tetesan hujan turun dengan derasnya. Pengalaman berbasahan di dekat maqam Ibrahim, makin menyemangati jamaah untuk bermunajad di hijr ismail yang siang itu sangat bersesakan. Bersama rekan sekamar, mas dwi dan mas tri yang berkarir di Disdukcapil dan polri Sleman, kami bertiga keluar dari kamar hotel yang hanya sepelembaran batu dari pintu masjidil haram, tepat disebelah menara jam pada dini hari itu. Atas izin Allah swt, kami diizinkan memunaikan umrah dengan lancar dan sangat berkesan dengan mencium hajr aswad.
Perjalanan 9 hari itu tidak saja untuk membayar janji akan mengunjungi Baitullah, namun juga memutar perjalanan 4 tahun yang lalu, ketika bersama istri menunaikan haji di 2008. Banyak perubahan dan perbaikan seputaran masjidil haram, namun ada 1 yang tak berubah, suasana khushuk dan kerinduan untuk ingin kembali lagi ke sana, berjumpa dengan Mu.