Sepiring nasi beserta pecel ayam goreng itu telah tandas di salahsatu meja kedai Sarirasa, 50 meter di samping stasiun Taichung yang baru saja disapu hujan gerimis di akhir September 2011. Rasa penat setelah 2 jam berkereta dari kampus 1000 cemara akhirnya sedikit terobati sambil bercanda dengan pak Hadi, pak Tris, pak Hong dan bu Nasti. Saat jam di dinding warung berukuran 4 kali 6 meter itu tepat menunjuk angka 1, setelah memenuhi panggilan illahi, aku bersama kawan-kawan meluncur berlima dengan taksi ke Tunghai university.

Bangunan berbentuk segitiga yang megah itu, terlihat paling menonjol di tengah bangunan lain, yang kemudian kukenali sebagai kapel di tengah kampus yang ditetumbuhi tanaman yang rimbun dengan kontur tanah yang meliuk bagai penari. Setelah beberapa kali agak kesulitan, meski berbekal peta kampus di depan rumah sakit veteran ini, akhirnya gedung yang dituju telah terhampar di depan mata. Bangunan bercorak minimalis, posmo modern itu didominasi warna granit abu-abu sangat gagah dengan tak kurang 8 lantai ditopangnya.

Jarum jam di tangan kananku tepat menunjuk angka 9 malam, ketika suhu dingin mulai terasa menyapa kulitku. Nasi goreng terbungkus kotak putih itu belum terasa perlu kusentuh. Akhirnya kuinjakkan kaki kembali ke stasiun Taichung yang bergaya klasik seperti di Eropa. Ada rasa lega setelah menjalani ujian di depan 5 penguji yang baru 5 menit yang lalu terlewati. Pak Hadi dan kawan-kawan maupun mbak Siti yang selalu siaga di toko di sudut pertigaan itu, turut menyemangati dan menyukuri perjalanan hari itu yang tak kurang 15 jam bertarung dengan hati bimbang namun harus kujalani. Terbayar juga sedikit rasa jengkel ketika bagasiku terdampar ke Balikpapan, sehingga selama 2 hari di pulau Formosa ini aku hanya mengenakan apa yang melekat di tubuhku, lalu terbayang binar mata kedua malaikat kecilku yang nun jauh di sana.