NgeJazz di New Orleans

Perlu 14 jam udara melintas samudera pasifik dari Taipei ke kota selebritas dunia di pantai barat amerika, yang dahulu hanya kulihat di layar kaca, Los Angeles. Agak deg-degan memasuki gate pemeriksaan imigrasi di negeri paman sam yang konon terkenal sangat ketat apalagi jika berasal dari beberapa negara tertentu. Malam itu, di awal minggu kedua bulan Juli 2011, beberapa ornamen independence day masih terpasang di beberapa sudut salahsatu bandara terpadat di dunia ini. Setelah melewatkan semalaman di kursi ruang tunggu, besuk paginya, pesawat Delta airline mengantarkanku ke kota di ujung selatan Negara presiden Obama ini, New Orleans di negara bagian Louisiana. Ketika menjelang boarding, tanpa sengaja, aku bertemu rekan dosen dari Peternakan, pak Cuk Noviandi yang sedang studi di sana, juga akan memperesentasikan paper di konferensi peternakan juga di kota yang dilintasi sungai Missisippi.      

Bangunan megah yang didominasi warna gelap dan silver itu, menggunakan nama Louis Amstrong, seorang kampiun jazz dunia sebagai nama bandaranya. Ketika menyusuri jalan menuju University of New Orleans sebagai tempat The 6th International Conference of Interdisciplinary Social Sciences, masih terlihat sisa-sisa kehebatan badai Katrina yang sempat mengoyak kawasan ini dan menggoyang pemerintahan presiden Bill Clinton masa itu. Kampus yang terletak di tepi danau Pontchartrain, sungguh indah dan nyaman. Setelah mempresentasikan paper dan bertemu rekan peneliti dari berbagai negara diantaranya Prof Donald Summers dan Prof Homer Stavely, maka kujejaki sudut-sudut kota yang konon sebagai ibukota jazz dunia.

Kawasan French quarter dengan farmer marketnya dan Plaza d’Armas peninggalan Spanyol di depan katedral kota menjadi destinasi favorit pengunjung. Pusat kota yang dibelah sungai Missisippi mewarnai aktifitas warga kota yang dinamis namun tetap menjaga selera seninya, ditandai berjibunnya pemusik jazz yang menghiasi sudut-sudut toko dan restoran dengan musik khasnya. Setelah hampir 22 jam perjalanan dari New Orleans via Los Angeles dan Taipei, maka China airlines yang kutumpangi mendarat di Soekarno Hatta. Tanpa sabar lagi setelah proses imigrasi, sambil menunggu garuda ke Jogja, maka kupuaskan keinginanku makan nasi rawon setelah menunggu hamper 10 hari tidak bisa menikmatinya selama di Amerika. Sungguh nikmat kuliner tanah air.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>